Hari ini
aku menjalani interview di sebuah perusahaan tempat aku magang nanti. Bukan
sebuah yang besar namun banyak dosen yang merekomendasikan untuk magang di
sana, terutama bagi mahasiswa yang benar-benar pengen mengasah kemampuannya.
Tidak mudah untuk magang di sini, mereka sangat ketat dalam menyaring lamaran
yang masuk. Dan Alhamdulillah, hari ini aku berkesempatan untuk interview.
Cukup
panjang jalan yang harus aku tempuh untuk bisa magang di perusahaan ini. 2
minggu setelah lamaranku masuk, baru ada panggilan interview, dan itupun
ternyata interview 1. Gila… Ini interview apa kuis dosen sik?
Pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan staff HRD benar-benar menguras ilmu yang
aku pelajari selama ini. Keesokan harinya aku kembali harus menghadapi
interview kedua, kali ini bersama wakil direksi, untungnya interview kali ini
bersifat umum, tidak sesusah yang kemarin. Dan akhirnya, aku dinyatakan
diterima untuk magang di perusahaan tersebut. Tak perlu menunggu lama, aku
diharuskan mulai masuk kerja keesokan harinya.
Malamnya aku mempersiapkan diri karena esok hari aku sudah harus mulai magang. Sambil BBMan dengan teman sekampus, mereka bilang divisi yang aku masuki adalah divisi neraka, saking beratnya tekanan disitu. Well… sebuah tantangan untukku.
Hari
pertama magang, aku ingin membuat sebuah kesan baik. Pagi-pagi benar aku
berangkat, berusaha agar jangan sampai terlambat. Langsung berhadapan dengan
kepala devisi. Elensar, itu nama yang aku baca di tagname yang dia pakai.
Orangnya masih cukup muda, sekitar 30an, dengan wajah tegas dan tatapan mata
yang tajam. Somehow aku ngerasa ada aura yang kuat dari dirinya. Ketegasan
namun sekaligus juga keramahan terpancar dari dirinya.
“Nama kamu
siapa?”
“Robby,
pak”
“Jangan
panggil gue pak, gue bukan bapak lu, gue juga gak kawin sama Emak lu.”
“Maaf…
Mas…” Kataku sambil sedikit terbata, berusaha untuk tidak terlihat gugup
dihadapannya.
“Gue udah
baca CV lu, dan gue gak akan nanya banyak hal ke elu. Gue dan semua yang ada di
divisi ini tidak akan mempersulit lu. Lu punya waktu seminggu untuk membuktikan
kalau lu bisa bekerja. Kalau dalam waktu seminggu lu malah menghambat kerja
kami, maka lu keluar dari sini, paham?”
“Paham
mas…”
Hari itu
juga aku sudah dihadapkan dengan bejibun kerjaan yang rasanya tak habis-habis.
Namun untuknya pengalaman-pengalamanku sebelumnya sangat membantuku. Aku bisa
menyelesaikan semuanya, dan ternyata mas Elensar dan kawan-kawannya sangat
kooperatif, mereka tidak pelit dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
Dalam waktu
seminggu kami sudah akrab satu sama lain. Mas El, begitu pimpinan kami
dipanggil, ternyata mempunyai darah campuran antara Jawa, Cina dan Belanda.
Pantas saja secara fisik dia terlihat berbeda dibandingkan kami. Dia bukan tipe
pimpinan yang menjaga jarak dengan staffnya. Dibalik sifat tegasnya tersimpan
keramahan terhadap semua.
Kami
berempat berbagi ruangan yang sama, sering kali aku memperhatikan mas El ketika
tengah bekerja. Ekspresi dia yang serius ketika bekerja, berubah menjadi ramah
dan ceria ketika waktu istirahat tiba. Karena banyaknya kerjaan di devisi kami,
menyebabkan kami harus makan siang di kantor. Kami selalu makan bersama duduk
di satu meja, dengan menu yang sama. Rasanya seperti keluarga, kami makan
sambil ngobrol, sejenak melupakan pekerjaan.Aku suka ngeliat senyum dan tawanya
yang lepas. Gesture tubuhnya yang somehow… Aku sendiri tidak tahu kenapa, tapi
terlihat menarik di mataku.
Tak jarang
sepulang kerja mas El mengajak kami untuk refreshing, entah makan malam di
luar, karaoke maupun main bowling. Mas El mempunyai suara yang bagus, bikin
melting dengernya. Untungnya suaraku juga lumayan bagus, jadi tidak malu-maluin
kalau diajak nyanyi duo bareng dia.
Sebelum
lebih aku magang di perusahaan ini, mendadak aku dipanggil mas El, diberitahu
kalau aku harus nemenin dia dinas ke luar kota. Seharusnya sih yang ikut dinas
keluar kota adalah karyawan, namun karena kesibukan yang ada, akhirnya dengan
berbagai macam pertimbangan akhirnya aku yang dipilih untuk menemani mas El.
Aku hanya
punya satu hari untuk mempersiapkan semuanya, bukan hanya barang-barang pribadi
yang harus aku bawa, namun yang lebih penting adalah berkas-berkas yang wajib
dibawa yang menjadi tanggung jawabku dalam membawanya.
Hari
pertama di kota S, kami tidak punya bawak waktu untuk beristirahat. Kami hanya
punya waktu 1 jam untuk beristirahat, dan itu bagiku berarti waktu untuk
mempersiapkan peresentasi nantinya. Tak sempat untuk membongkar koper. Aku
langsung mengecek dan menata berkas dan file yang yang akan dipakai.
Presentasi
dengan klien berjalan dengan mulus. Aku mengagumi cara presentasi mas El, kharismanya
yang kuat mempengaruhi peserta presentasi. Di akhir presentasi klien tampak
puas dan menyatakan diri untuk menerima penawaran kami.
Sepulang
presentasi mas El mengajakku mampir ke coffe shop, salah satu kegemarannya
sepulang kerja menikmati secangkir kopi hangat. Sambil menunggu kopi pesanan
kami, mas El melonggarkan dasinya, wajahnya terlihat lega, sebaris senyum
terlintas di wajahnya.
“Selamat
atas presentasinya tadi mas, saya terkesan dengan presentasi dan saya lihat
demikian juga dengan klien kita.”
“Terima
kasih untuk bantuan lu Rob, jika tidak lu bantu, presentasi gue gak bakal
sebagus tadi.”
Tengah
asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar nada BBM masuk dari BB ku. Aku terdiam
sejenak, aku ingat mas El menampakkan wajah sebal ketika tengah ngobrol dengan
seseorang, kemudian orang tersebut malah asyik dengan BBnya. Aku pun kemudian
bilang ke mas El.
“Maaf mas,
saya lihat BBM dulu.”
“Rileks
Rob, kita sekarang lagi santai koq.”
Aku cek
BBM, ah… ternyata mama yang nanyain kabar. Aku memang bilang ke mama kalau mau
ke kota S untuk menemani presentasi. Sejenak aku chat sama mama. Aku tersenyum
waktu ngebaca mama minta dibeliin oleh-oleh khas kota S, belum lagi bejibun
titipan dari adik dan keponakan. Jyaah… Iyain aja deh, walaupun ntar blom tentu
kebeli :p
“Maaf mas,
tadi dari mama, nanyain kabar.”
“Lu salah
apa sampai harus minta maaf?”
“Saya tau
mas tidak suka klo teman bicara mas asyik dengan gadgetnya.”
“Well… Itu
klo situasi resmi Rob, sekarang kita kan lagi santai.”
“Iya mas…
Tadi mama kirim salam buat mas.” Phew… Kenapa aku musti bilang kayak gini yak?
“Hmmm… Anak
mama rupanya kau ini?”
Aku hanya
tersenyum simpul mendengar pertanyaan godaan dari mas El tersebut. Tanpa aku
duga, tiba-tiba mas El bertanya lagi
“Gak ada
salam dari cewek elu?”
Glek!
Walaupun mas El bertanya sambil becanda, namun pertanyaan tentang cewek ini
tidak aku duga sama sekali.
“Saya tidak
punya pacar koq mas.”
Aku yakin
mas El bisa melihat wajahku yang memerah karena pertanyaannya. Untuk mengurangi
kegugupan. Aku meraih cangkir kopi dan meminumnya. Sambil pura-pura
memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Namun ternyata pertanyaan mas El
masih bersambung
“Klo cowok kamu gimana?”
Hampir saja
aku tersedak mendengar pertanyaan mas El. Wajahku semakin memerah dan semakin
salah tingkah. Ah… andai saja dia tau, kalau orang yang aku taksir ada di
hadapanku, tapi aku tak berani bilang apa-apa.
0 comments:
Posting Komentar