Senin, 06 Agustus 2012

Cerita Kedua (II)

Hari ini aku menjalani interview di sebuah perusahaan tempat aku magang nanti. Bukan sebuah yang besar namun banyak dosen yang merekomendasikan untuk magang di sana, terutama bagi mahasiswa yang benar-benar pengen mengasah kemampuannya. Tidak mudah untuk magang di sini, mereka sangat ketat dalam menyaring lamaran yang masuk. Dan Alhamdulillah, hari ini aku berkesempatan untuk interview.

Cukup panjang jalan yang harus aku tempuh untuk bisa magang di perusahaan ini. 2 minggu setelah lamaranku masuk, baru ada panggilan interview, dan itupun ternyata interview 1. Gila… Ini interview apa kuis dosen sik? Pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan staff HRD benar-benar menguras ilmu yang aku pelajari selama ini. Keesokan harinya aku kembali harus menghadapi interview kedua, kali ini bersama wakil direksi, untungnya interview kali ini bersifat umum, tidak sesusah yang kemarin. Dan akhirnya, aku dinyatakan diterima untuk magang di perusahaan tersebut. Tak perlu menunggu lama, aku diharuskan mulai masuk kerja keesokan harinya.

Malamnya aku mempersiapkan diri karena esok hari aku sudah harus mulai magang. Sambil BBMan dengan teman sekampus, mereka bilang divisi yang aku masuki adalah divisi neraka, saking beratnya tekanan disitu. Well… sebuah tantangan untukku.

Hari pertama magang, aku ingin membuat sebuah kesan baik. Pagi-pagi benar aku berangkat, berusaha agar jangan sampai terlambat. Langsung berhadapan dengan kepala devisi. Elensar, itu nama yang aku baca di tagname yang dia pakai. Orangnya masih cukup muda, sekitar 30an, dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam. Somehow aku ngerasa ada aura yang kuat dari dirinya. Ketegasan namun sekaligus juga keramahan terpancar dari dirinya.

“Nama kamu siapa?”

“Robby, pak”

“Jangan panggil gue pak, gue bukan bapak lu, gue juga gak kawin sama Emak lu.”

“Maaf… Mas…” Kataku sambil sedikit terbata, berusaha untuk tidak terlihat gugup dihadapannya.

“Gue udah baca CV lu, dan gue gak akan nanya banyak hal ke elu. Gue dan semua yang ada di divisi ini tidak akan mempersulit lu. Lu punya waktu seminggu untuk membuktikan kalau lu bisa bekerja. Kalau dalam waktu seminggu lu malah menghambat kerja kami, maka lu keluar dari sini, paham?”

“Paham mas…”

Hari itu juga aku sudah dihadapkan dengan bejibun kerjaan yang rasanya tak habis-habis. Namun untuknya pengalaman-pengalamanku sebelumnya sangat membantuku. Aku bisa menyelesaikan semuanya, dan ternyata mas Elensar dan kawan-kawannya sangat kooperatif, mereka tidak pelit dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Dalam waktu seminggu kami sudah akrab satu sama lain. Mas El, begitu pimpinan kami dipanggil, ternyata mempunyai darah campuran antara Jawa, Cina dan Belanda. Pantas saja secara fisik dia terlihat berbeda dibandingkan kami. Dia bukan tipe pimpinan yang menjaga jarak dengan staffnya. Dibalik sifat tegasnya tersimpan keramahan terhadap semua.

Kami berempat berbagi ruangan yang sama, sering kali aku memperhatikan mas El ketika tengah bekerja. Ekspresi dia yang serius ketika bekerja, berubah menjadi ramah dan ceria ketika waktu istirahat tiba. Karena banyaknya kerjaan di devisi kami, menyebabkan kami harus makan siang di kantor. Kami selalu makan bersama duduk di satu meja, dengan menu yang sama. Rasanya seperti keluarga, kami makan sambil ngobrol, sejenak melupakan pekerjaan.Aku suka ngeliat senyum dan tawanya yang lepas. Gesture tubuhnya yang somehow… Aku sendiri tidak tahu kenapa, tapi terlihat menarik di mataku.

Tak jarang sepulang kerja mas El mengajak kami untuk refreshing, entah makan malam di luar, karaoke maupun main bowling. Mas El mempunyai suara yang bagus, bikin melting dengernya. Untungnya suaraku juga lumayan bagus, jadi tidak malu-maluin kalau diajak nyanyi duo bareng dia.

Sebelum lebih aku magang di perusahaan ini, mendadak aku dipanggil mas El, diberitahu kalau aku harus nemenin dia dinas ke luar kota. Seharusnya sih yang ikut dinas keluar kota adalah karyawan, namun karena kesibukan yang ada, akhirnya dengan berbagai macam pertimbangan akhirnya aku yang dipilih untuk menemani mas El.

Aku hanya punya satu hari untuk mempersiapkan semuanya, bukan hanya barang-barang pribadi yang harus aku bawa, namun yang lebih penting adalah berkas-berkas yang wajib dibawa yang menjadi tanggung jawabku dalam membawanya.

Hari pertama di kota S, kami tidak punya bawak waktu untuk beristirahat. Kami hanya punya waktu 1 jam untuk beristirahat, dan itu bagiku berarti waktu untuk mempersiapkan peresentasi nantinya. Tak sempat untuk membongkar koper. Aku langsung mengecek dan menata berkas dan file yang yang akan dipakai.
Presentasi dengan klien berjalan dengan mulus. Aku mengagumi cara presentasi mas El, kharismanya yang kuat mempengaruhi peserta presentasi. Di akhir presentasi klien tampak puas dan menyatakan diri untuk menerima penawaran kami.

Sepulang presentasi mas El mengajakku mampir ke coffe shop, salah satu kegemarannya sepulang kerja menikmati secangkir kopi hangat. Sambil menunggu kopi pesanan kami, mas El melonggarkan dasinya, wajahnya terlihat lega, sebaris senyum terlintas di wajahnya.

“Selamat atas presentasinya tadi mas, saya terkesan dengan presentasi dan saya lihat demikian juga dengan klien kita.”

“Terima kasih untuk bantuan lu Rob, jika tidak lu bantu, presentasi gue gak bakal sebagus tadi.”

Tengah asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar nada BBM masuk dari BB ku. Aku terdiam sejenak, aku ingat mas El menampakkan wajah sebal ketika tengah ngobrol dengan seseorang, kemudian orang tersebut malah asyik dengan BBnya. Aku pun kemudian bilang ke mas El.

“Maaf mas, saya lihat BBM dulu.”

“Rileks Rob, kita sekarang lagi santai koq.”

Aku cek BBM, ah… ternyata mama yang nanyain kabar. Aku memang bilang ke mama kalau mau ke kota S untuk menemani presentasi. Sejenak aku chat sama mama. Aku tersenyum waktu ngebaca mama minta dibeliin oleh-oleh khas kota S, belum lagi bejibun titipan dari adik dan keponakan. Jyaah… Iyain aja deh, walaupun ntar blom tentu kebeli :p

“Maaf mas, tadi dari mama, nanyain kabar.”

“Lu salah apa sampai harus minta maaf?”

“Saya tau mas tidak suka klo teman bicara mas asyik dengan gadgetnya.”

“Well… Itu klo situasi resmi Rob, sekarang kita kan lagi santai.”

“Iya mas… Tadi mama kirim salam buat mas.” Phew… Kenapa aku musti bilang kayak gini yak?

“Hmmm… Anak mama rupanya kau ini?”

Aku hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan godaan dari mas El tersebut. Tanpa aku duga, tiba-tiba mas El bertanya lagi

“Gak ada salam dari cewek elu?”

Glek! Walaupun mas El bertanya sambil becanda, namun pertanyaan tentang cewek ini tidak aku duga sama sekali.

“Saya tidak punya pacar koq mas.”

Aku yakin mas El bisa melihat wajahku yang memerah karena pertanyaannya. Untuk mengurangi kegugupan. Aku meraih cangkir kopi dan meminumnya. Sambil pura-pura memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Namun ternyata pertanyaan mas El masih bersambung

“Klo cowok kamu gimana?”

Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan mas El. Wajahku semakin memerah dan semakin salah tingkah. Ah… andai saja dia tau, kalau orang yang aku taksir ada di hadapanku, tapi aku tak berani bilang apa-apa.

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © . Cerita Fin - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger