Gue pikir
setelah semua yang lu lakukan ke gue, gue bakalan hancur. Gue ngerasa sial
bener nasib gue, punya pacar banci bajingan. Selama beberapa hari gue kutuk
diri gue sendiri atas kebodohan gue yang mengira elu orang baik-baik. DAMN!!!!
Gue buang semua jejak lu dari rumah gue, gue hapus lagu-lagu favorit lu dari
playlist gue. Semuanya tak tersisa sedikitpun, namun rasa penyesalan dan sakit
hati tak bisa hilang semudah aku membuang semua barang-barang yang mengingatkan
gue sama dia.
Sampai
suatu saat, gue menyadari satu gak bener kalau terus-terusan gini, hidup gue
maju kedepan, dan yang sudah terjadi gak bisa menghambat gue untuk hidup. Akhirnya
gue bilang.
“Tuhan, aku
mau melanjutkan hidupku. Aku tak mau apa yang telah terjadi padaku menjadi
penghambatku dan aku tak mau mengingatnya lagi.”
Tuhan begitu baik ke gue Dia mendengar dan mengabulkan doa gue. Awal bulan ini banyak job masuk ke kantor dam kerjaan terbanyak masuk ke devisi gue. Hanya ada 2 staff di devisi ini, sehingga kerjaan bejibun tersebut harus kami kerjakan bertiga. Kesibukan cukup menguras pikiran dan tenaga gue, tak menyisakan sedikitpun waktu untuk meranggas dan merana karena masa lalu.
Baru
beberapa hari berjalan, tiba-tiba menjelang makan siang, ada panggilan dari
HRD, ternyata pemberitahuan akan mahasiswa magang yang akan masuk ke devisi
gue.
“Tidak
bisa! Devisi kami lagi hectic dengan kerjaan bejibun, kalau ada orang tolol
yang masuk, yang ada nanti kerjaan jadi berantakan.”
“Mahasiswa
yang ini beda mas, dia bukan mahasiswa titipan yang tidak bisa apa-apa. Track
record dia bagus referensi dia pun juga meyakinkan.”
“OK… Kalau
gitu, saya beri waktu seminggu, kalau dalam waktu seminggu dia tidak bisa
bekerja dan menghambat kerja devisi kami, saya minta dia untuk ditendang dari
sini.”
Gue dikenal
sebagai orang yang tegas, bahkan berangasan oleh teman-teman kantor. Namun keberangasan
gue ada alasannya, dan mereka memahami hal itu.
Keesokan
harinya seorang lelaki yang masih ingusan menghadap. Gue interogasi sambil
membaca CV dia.
“Nama kamu
siapa?”
“Robby,
pak”
“Jangan
panggil gue pak, gue bukan bapak lu, gue juga gak kawin sama Emak lu.”
“Maaf…
Mas…” Kata Robby sedikit terbata, namun tertap terlihat tenang walaupun gue
bentak.
“Gue udah
baca CV lu, dan gue gak akan nanya banyak hal ke elu. Gue dan semua yang ada di
divisi ini tidak akan mempersulit lu. Lu punya waktu seminggu untuk membuktikan
kalau lu bisa bekerja. Kalau dalam waktu seminggu lu malah menghambat kerja
kami, maka lu keluar dari sini, paham?”
“Paham
mas…”
Dan Robby
berhasil menjawab tantangan gue. Dengan sedikit arahan dari rekan-rekan se
devisi dia sudah bisa membantu kerjaan kami. Dia juga cukup sering bertanya,
namun bukan pertanyaan-pertanyaan bodoh orang yang tidak paham namun
pertanyaan-pertanyaan cerdas yang berhubungan dengan kerjaan. Kami cukup
terbantu dengan adanya Robby di devisi kami.
Karena
banyaknya kerjaan, tak jarang kami harus lembur sampai malam dan sering juga
kami terpaksa harus makan catering/ delivery. Dengan penampilannya yang tidak
sok ala anak muda jaman sekarang serta ketrampilannya dalam bekerja membuat
Robby jadi mudah akrab dengan rekan-rekan se devisi, termasuk juga dengan gue.
Gue memang berangasan, namun gue bukan tipe orang yang suka menjaga jarak
dengan staff. Makan bareng di kantor di meja yang sama dengan menu yang sama
pula sudah sangat sering kami lakukan sebelum Robby magang di devisi kami. Tak
jarang kami makan di luar bersama, atapun melepas lelah dengan berkaraoke
ataupun main bowling.
Sebulan
lebih Robby magang di tempat kami, dan gue udah lupa dengan kesialan gue,
ingatan gue akan bajingan tengik itu sudah menguap, bahkan saat-saat sebelum
tidur pun tak terlintas sedikitpun ingatan akan dia.
Hari ini
gue dipanggil direksi, pemberitahuan bahwa gue harus dinas ke luar kota untuk
beberapa hari dan gue bisa membawa salah satu staff satu devisi. Sewaktu gue tawarkan siapa yang mau ikut,
sayangnya tidak ada satupun yang bisa, karena kesibukan devisi kami. Akhirnya
gue berniat untuk berangkat sendiri, namun pertimbangan dari HRD karena
banyaknya berkas dan segala macam tetek bengek yang harus gue persiapkan untuk
presentasi serta meeting dengan klien gue diminta untuk mengajak Robby.
Hari
pertama sampai di kota S, kami berdua hanya sempat beristirahat sejenak tak
lebih dari 1 jam, hanya sempat meletakkan barang dan kemudian mempersiapkan
diri untuk meeting dengan klien. Kurang lebih 4 jam kami meeting dengan klien.
Gue bersyukur mengajak Robby, dia seperti tangan gue, apa yang gue butuhkan
untuk presentasi sudah dia siapkan dengan baik.
Selesai
meeting kami berdua mampir di coffee shop hotel, beristirahat sambil menikmati
pemadangan kota S di sore hari.
“Selamat
atas presentasinya tadi mas, saya terkesan dengan presentasi dan saya lihat
demikian juga dengan klien kita.”
“Terima
kasih untuk bantuan lu Rob, jika tidak lu bantu, presentasi gue gak bakal
sebagus tadi.”
Tengah
asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar nada BBM masuk dari BB Robby.
“Maaf mas,
saya cek BBM dulu.”
“Rileks
Rob, kita sekarang lagi santai koq.”
Selama
beberapa saat Robby mengotak-atik BBnya, gue lihat sekilas wajahnya terlihat
ceria, senyum tersungging di wajahnya.
“Maaf mas,
tadi dari mama, nanyain kabar.”
“Lu salah
apa sampai harus minta maaf?”
“Saya tau
mas tidak suka klo teman bicara mas asyik dengan gadgetnya.”
“Well… Itu
klo situasi resmi Rob, sekarang kita kan lagi santai.”
“Iya mas…
Tadi mama kirim salam buat mas.”
“Hmmm… Anak
mama rupanya kau ini?”
Robby hanya
tersenyum tak menjawab pertanyaan gue.
“Gak ada
salam dari cewek elu?”
Damn!!! Ngapain
juga gue nanyain pertanyaan tolol kayak gitu?
“Saya tidak
punya pacar koq mas.”
Tanggung
sekalian aja gue tanyaan pertanyaan tolol lainnya,
“Klo cowok
kamu gimana?”
Wajah Robby
semakin memerah, persis seperti kepiting rebus, makanan favorit gue.
wew pertanyaan straight to the point!! he he he... i love it! ga sabar nunggu lanjutannya :)
BalasHapus@Farrel
BalasHapusDoakan semuanya lancar ya mas :D